Hajr yang menimbulkan maslahat merupakan ibadah. Karena ia adalah ibadah, maka harus dikerjakan secara ikhlas karena Allah. Diantara ciri orang yang ikhlash ketika melakukan hajr adalah keinginan agar saudaranya yang sedang di-hajr kembali kepada kebaikan dan meninggalkan kesalahan atau kebid’ahannya. Jika niatnya memang demikian, tentunya ia akan menggunakan cara terbaik agar tujuannya tercapai. Begitu juga tatkala mengingatkan saudaranya dari kesalahan (men-tahdzir), dia berusaha untuk menggunakan cara terbaik agar saudaranya kembali kepada kebenaran.
Maka jelaslah bagi kita kesalahan sebagian orang yang menerapkan tahdzir dengan gaya yang konyol dan bahasa yang orang awam saja malu untuk menggunakannya, apalagi seorang da’i Ahlus Sunnah. Sebagaimana kita dengar ada sebagian orang yang menggelari saudaranya dengan “kecoak”, “ahli hadats” (plesetan dari ahli hadits), “pramuka”, “gelandangan dakwah”, “anak ingusan”, “Fulan andurjana” plesetan dari “Andirja” dan segudang gelaran konyol lainnya.
Padahal Allah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia,
وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (al-Hujuraat: 11)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Maksudnya, janganlah salah seorang dari kalian mencela saudaranya dan memberi gelaran kepada saudaranya tersebut dengan gelaran yang dia sendiri tidak suka jika dia digelari demikian.” (Taisir al-Kariimir Rahmaan, hal 108)
Renungkan kisah berikut: ‘Aisyah berkata, “Seorang yahudi masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: ‘As-Saam ‘alaik’ (artinya: semoga engkau binasa. Mereka mengganti ucapan salam “as-salaam ‘alaik” dengan lafazh di atas). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Wa ‘alaik’ (begitu juga engkau).”
Aisyah melanjutkan, “Maka aku pun berkeinginan untuk bicara (dalam rangka membalas orang yahudi tersebut, pen), namun aku mengetahui kebencian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal itu. Lalu masuklah orang yahudi yang lain dan mengucapkan (perkataan yang sama), ‘Semoga engkau binasa.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab (dengan jawaban yang sama), ‘Begitu juga engkau.’ Maka aku pun (kembali) berkeinginan untuk bicara, namun aku mengetahui kebencian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal itu. Kemudian masuklah orang yahudi yang ketiga dan mengucapkan (perkataan yang sama), ‘Semoga engkau binasa,’ maka aku tidak dapat bersabar lagi, hingga aku pun berkata,
“Semoga engkau binasa dan mendapat kemurkaan serta laknat Allah, wahai saudara-saudara kera dan babi. Apakah kalian memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sebagaimana salam Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya Allah tidak suka kekejian dan perkataan yang keji. Mereka telah mengucapkan suatu perkataan, maka kita pun sudah membalas perkataan tersebut, “Begitu juga kalian”. Sesungguhnya kaum yahudi adalah kaum pendengki, dan mereka tidak pernah dengki sebagaimana kedengkian mereka kepada kita dalam hal salam dan (ucapan) aamiin.” (HR Al-Bukhari (V/2349) no (6032), Muslim (IV/1707) no (2166), dan Ibnu Khuzaimah (I/288) no (574). Ini adalah lafazh Ibnu Khuzaimah.)
Di dalam riwayat al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
مَهْلًا يَا عائشةُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ
“Perlahan wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam semua perkara.” (HR Al-Bukhari V/2349 no 6032)
Perhatikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur ‘Aisyah karena sikap keras yang timbul dari ‘Aisyah kepada orang yahudi tersebut. Padahal ‘Aisyah adalah shiddiiqah binti ash-Shiddiiq, Ummul Mukminin, sementara yang dicelanya adalah orang Yahudi, bukan muslim, yang bahkan melakukan keburukan yang sangat, berupa doa kematian terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ditambah lagi, ‘Aisyah mencela orang Yahudi tersebut dalam rangka membela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kandungan ucapan ‘Aisyah tatkala mencela orang yahudi tersebut pun benar, bahkan terdapat dalam al-Qur-an. Meskipun demikian, ternyata hal ini diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan karena isi perkataan Aisyah yang tidak benar, namun karena cara ‘Aisyah yang tidak semestinya. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkritik isi perkataan ‘Aisyah.
Ibnu Hajar berkata, “Tampaknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin agar lisan Aisyah tidak terbiasa dengan perkataan yang jelek, atau beliau mengingkari Aisyah karena sikapnya yang berlebih-lebihan dalam mencela” (Fat-hul Baari(XI/43)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Yahudi berhak untuk dilaknat, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarang Aisyah untuk melaknat mereka (tatkala itu)” (Fatawa Al-Haram An-Nabawi, kaset no 42 side A)
Hendaknya saudara-saudara kita “para pencela” atau “para penggelar” menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut sebelum mereka mencuatkan “gelar-gelar” yang jelek kepada saudara-saudaranya:
1. Apakah mereka lebih utama dibandingkan ‘Aisyah?
2. Apakah saudara-saudara mereka yang dicela tersebut lebih buruk dari orang Yahudi?
3. Apakah kesalahan saudara-saudara mereka tersebut -kalau pun memang benar-benar terbukti salah- lebih berat daripada perkataan ketiga orang Yahudi tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semoga engkau binasa”?
4. Apakah “gelar-gelar” atau tuduhan-tuduhan yang mereka berikan kepada saudara-saudara mereka memang benar demikian adanya, sebagaimana benarnya perkataan Aisyah kepada orang Yahudi tersebut?
Sebelum mencuatkan “gelar-gelar” tersebut pernahkah mereka memikirkan bagaimana sekiranya mereka yang berada pada posisi saudara mereka yang mereka tahdzir atau hajr, apakah mereka akan sadar dan kembali kepada kebenaran jika mereka yang digelari dengan gelaran-gelaran yang konyol tersebut di tengah-tengah khalayak ramai? Pernahkah hal ini pernah terbetik dalam hati mereka, sebagai implementasi dari hadits:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.” (HR Bukhari (13) dan Muslim (45))
Sangat disesalkan, yang terjadi justru sebaliknya. Jika saudara mereka bersalah, maka jadi bahan tertawaan, bukannya bersedih karena saudara mereka terjatuh dalam kesalahan. Selanjutnya jika saudara mereka menampakkan tanda-tanda kembali kepada kebenaran, maka akan dicurigai dan dituduh dengan tuduhan yang beraneka ragam. Ini adalah indikasi bahwa hajr yang dilakukan bukan karena Allah, tetapi karena menuruti hawa nafsu. Lalu amalan ini dihiasi oleh setan, sehingga pelakunya menganggap apa yang dilakukan oleh hawa nafsunya adalah ketaatan kepada Allah. Hal seperti ini sering kali terjadi, sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyyah, “Barangsiapa yang menerapkan hajr karena hawa nafsunya, atau menerapkan hajr yang tidak diperintahkan untuk dilakukan, maka dia telah keluar dari hajr yang syar’i. Betapa banyak manusia melakukan apa yang diinginkan hawa nafsunya, tetapi mereka mengira bahwa mereka melakukannya karena Allah.” (Majmuu’ al-Fatawa (XXVIII/203-210).
Ibnu Syaikh Al-Hazzamiyin berkata, “Ilmu ini (menjelaskan dan membantah kesesatan pihak yang lain-pen) hukumnya haram bagi orang yang berkeinginan untuk menjatuhkan harga diri manusia dalam rangka memuaskan kehendaknya yang rusak atau untuk mendukung hawa nafsu yang diikuti. Dan ilmu ini hukumnya mubah (boleh) bahkan mustahab bagi orang yang hendak menjaga dirinya agar tidak terpengaruh kesalahan-kesalahan dan terjerumus dalam ketergelinciran. Ilmu ini tidak boleh dan tidak mustahab bagi orang yang hanya ingin mencela dan mengejek-ngejek. Sehingga menjadikan pembicaran kesalahan orang lain sebagai bahan tertawaan dan candaan bukan sebagai sarana untuk mengenal kesalahan (agar tidak terjerumus) dan sebagai pelajaran. Akhirnya ia pun mengungkap tirai yang menutup kesalahan-kesalahan orang lain tanpa niat yang benar. Padahal setiap amalan tergantung niatnya, dan setiap orang memperoleh balasan sesuai dengan niatnya.” (Rihlatu Al-Imam… hal 16).
Akibat gaya-gaya konyol mereka tersebut, sebagian orang yang dinasehati justru semakin menjadi-jadi, disebabkan hilangnya kepercayaan kepada mereka, bahkan menimbulkan permusuhan.
Adab Memberi Nasehat (Kritikan)
Allah telah menjelaskan metode yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang ingin menasehati saudara mereka:
﴿وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوّاً مُبِيناً{
“Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku, ‘Hendaknya mereka mengucapkan perkatan yang paling baik’. Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka, sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (al-Israa’: 53)
Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata, “…hendaknya engkau memilih lafazh yang baik, sudah cukup? Belum cukup. Hendaknya engkau memilih lafazh atau perkataan yang paling baik, karena Allah memerintahkan hal itu.” (Dari ceramah beliau yang berjudul Huquuqul Ukhuwwah) Mengapa? Karena setan sangat berambisi untuk menimbulkan perselisihan antara kaum muslimin pada umumnya, terlebih lagi di kalangan orang-orang yang bertauhid.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Semua ini (menjelaskan kesalahan dan bahaya pelaku kemaksiatan dan ahlul bid’ah) harus ditunaikan dalam bentuk nasehat dan dengan tujuan mengharapkan wajah Allah, bukan karena memuaskan hawa nafsunya kepada orang lain. Misalnya ada permusuhan yang terjadi antara mereka berdua karena dunia, atau karena hasad, atau saling membenci, atau karena memperebutkan kepemimpinan, lalu iapun menyebutkan kesalahan-kesalahannya dengan menampakan seakan-akan sedang menasehati, padahal maksud dalam batinya adalah untuk memuaskan nafsunya. Ini merupakan perbuatan syaitan dan ((Amalan itu sesuai dengan niatnya, dan bagi setiap orang apa yang diniatkannya)). Akan tetapi hendaknya tujuan dari pemberi nasehat adalah agar Allah meluruskan orang tersebut, dan agar Allah menghindarkan kaum muslimin dari kejelekannya baik dalam perkara-perkara dunia mereka maupun akhirat mereka” (Majmu’ Fatawa XXVIII/221).
Berikut ini fatwa Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin tentang adab mengkritik dan menasehati:
Fatwa Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah, beliau berkata :
Metode Mengkritik Dan Mengoreksi Di Kalangan Para Da’i (Ahlus Sunnah) (Majmuu’ Fataawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah (VII/316-321). Fatwa ini juga disebarkan melalui koran al-Jaziirah, ar-Riyaadh, dan asy-Syarq al-Awshath pada hari sabtu tanggal 22/6/1412 H. Yang dimaksudkan di sini adalah para da’i Ahlus Sunnah sebagaimana yang akan disebutkan dalam isi fatwa)
“Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Nabi yang terpercaya, juga bagi keluarganya dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti sunnahnya hingga hari kiamat. Amma ba’d:
Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan kebaikan serta melarang kezhaliman, melanggar hak orang lain dan permusuhan. Allah telah mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan membawa perkara yang telah diemban oleh seluruh Rasul, yaitu dakwah kepada tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata. Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan keadilan dan melarang beliau untuk mengerjakan lawan dari keadilan, berupa peribadahan kepada selain Allah, perpecahan, perceraiberaian dan pelanggaran hak-hak para hamba.
Di masa ini telah tersebar bahwa banyak orang yang dikenal dengan ilmu dan dakwah kepada kebaikan terjatuh dalam pencelaan terhadap harkat dan martabat banyak saudara-saudara mereka -yaitu para da’i yang sudah dikenal-. Mereka juga mencela kehormatan para penuntut ilmu, para da’i dan penceramah. Mereka melakukan demikian secara sembunyi-sembunyi di majelis-majelis mereka. Dan terkadang mereka merekam pembicaraan tersebut dalam kaset-kaset yang disebarkan di masyarakat. Terkadang pula mereka melakukannya secara terang-terangan pada pengajian-pengajian umum di masjid-masjid. Metode yang mereka tempuh ini menyelisihi perintah Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari banyak sisi:
Pertama
Metode ini merupakan pelanggaran hak-hak kaum muslimin, bahkan pelanggaran terhadap hak-hak orang-orang yang spesial yaitu para penuntut ilmu dan para da’i yang telah mengorbankan usaha mereka dalam rangka memberi wejangan kepada masyarakat, membimbing mereka, dan membenarkan aqidah serta manhaj mereka. Mereka juga telah bersusah payah untuk mengatur pelajaran-pelajaran dan pengajian-pengajian serta menulis buku-buku yang bermanfaat.
Kedua
Metode ini memecahkan persatuan kaum muslimin dan merobek barisan mereka. Padahal kaum muslimin sangat membutuhkan persatauan dan menjauhi perceraiberaian dan perpecahan, juga banyaknya qiil wa qaal (isu) di antara mereka. Terlebih lagi para da’i yang dicela termasuk kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dikenal memerangi bid’ah dan khurafat, menghadang orang-orang yang menyeru kepada bid’ah dan khurafat, serta mengungkap dan membongkar rencana-rencana jahat berikut makar mereka.
Kami tidak melihat adanya kemaslahatan dari perbuatan seperti ini kecuali bagi musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir dan munafik atau dari kalangan ahli bid’ah, dan kesesatan yang senantiasa menunggu-nunggu kesempatan.
Ketiga
Perbuatan seperti ini membantu orang-orang yang memiliki tujuan-tujuan buruk dari kalangan sekuler, para pengikut paham barat, kalangan atheis, dan lain-lain, yang terkenal suka mencela para da’i dan berdusta tentang mereka, serta suka memprovokasi untuk melawan para da’i, sebagaimana tercantum dalam berbagai buku dan rekaman mereka.
Bukanlah termasuk hak persaudaraan Islamiyyah sikap mereka yang terburu-buru –dalam mencela para dai-. Hal ini membantu para musuh untuk menyerang saudara-saudara mereka dari kalangan para penuntut ilmu, da’i, dan lain-lain.
Keempat
Perbuatan ini menyebabkan rusaknya hati masyarakat umum, juga orang-orang khusus (para da’i dan yang semisalnya, pen), sekaligus menyebabkan laris dan tersebarnya kedustaan-kedustaan dan kabar-kabar yang tidak benar. Serta menyebabkan banyaknya ghibah dan namimah (adu domba) sekaligus membuka pintu-pintu keburukan selebar-lebarnya, karena lemahnya jiwa yang senang menyebarkan syubhat-syubhat serta mengobarkan fitnah sekaligus giat dalam mengganggu kaum mukminin tanpa sebab yang mereka perbuat.
Kelima
Kebanyakan perkataan yang dilontarkan (baik berupa tuduhan maupuan celaan, pen) sama sekali tidak benar, namun hanya merupakan persangkaan-persangkaan keliru yang dihiasi oleh setan kepada para pengucapnya. Setan memperdaya mereka dengan hal ini. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.” (al-Hujuraat: 12)
Seorang mukmin hendaknya membawa perkataan saudaranya sesama muslim kepada makna yang paling baik. Sebagian Salaf berkata,
لاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ سُوْءً وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً
“Janganlah sekali-kali engkau menyangka dengan prasangka yang buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari (mulut) saudaramu, padahal kalimat tersebut masih bisa engkau bawa kepada (makna) yang baik.”
Keenam
Apa-apa yang timbul dari hasil ijtihad sebagian ulama dan para penuntut ilmu dalam perkara-perkara yang masih diperbolehkan ijtihad di dalamnya, maka pelakunya tidaklah mendapatkan hukuman dan tidak pula dicela, apabila ia memang layak untuk berijtihad. Kalau ada orang lain yang menyelisihinya maka yang paling layak untuk dilakukan adalah berdiskusi dengan cara terbaik dalam rangka mencapai kebenaran dengan menempuh jalan terdekat. Hal ini untuk menolak was-was setan dan metode adu dombanya di antara kaum mukminin. Jika hal ini tidak bisa terlaksana dan seseorang memandang wajib menjelaskan penyimpangan maka hendaknya (1) penjelasan tersebut menggunakan ibarat yang paling baik dan yang paling halus, (2) tanpa sikap menyerang, melukai atau berlebih-lebihan dalam perkataan yang terkadang menyebabkan tertolaknya kebenaran dan berpaling dari kebenaran, (3) tanpa menyebutkan (nama) pelakunya, (4) atau menuduh mereka memiliki niat (buruk), atau manambah-nambah pembicaraan tanpa adanya alasan yang membenarkan hal itu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata dalam perkara yang seperti ini,
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَكَذَا
“Mengapa suatu kaum mengucapkan ini dan itu…?”
Nasehatku kepada saudara-saudaraku yang melakukan ghibah terhadap para da’i dan mencela kehormatan mereka adalah agar bertaubat kepada Allah dari perkara-perkara yang telah ditulis oleh tangan-tangan mereka, atau yang dilafazhkan oleh lisan-lisan mereka yang menyebabkan rusaknya hati sebagian para pemuda, memenuhi hati mereka dengan hasad dan dengki, serta menyibukkan mereka sehingga tidak menuntut ilmu yang bermanfaat. Hendaknya mereka bertaubat dari model dakwah mereka yang dipenuhi dengan qiil wa qaal (katanya… katanya…), bertaubat dari nukilan perkataan dari Fulan dan Fulan, mencari-cari perkara yang dianggap merupakan kesalahan orang lain, dan berusaha menjerat kesalahan-kesalahan tersebut. (Subhaanallah, seakan-akan Syaikh sedang membicarakan metode dakwah sebagian Ahlus Sunnah yang ada di Indonesia-pen)
Sebagaimana juga saya menasehati mereka untuk menyebut kesalahan-kesalahan mereka dengan cara menulis atau selainnya, yang menunjukan bahwa mereka berlepas diri dari perbuatan-perbuatan seperti ini, sekaligus menghilangkan apa yang telah tertancap dalam otak orang-orang yang mendengarkan perkataan mereka. Hendaknya mereka bergerak menuju amalan-amalan yang membuahkan hasil yang baik, mendekatkan mereka kepada Allah, dan bermanfaat bagi para hamba.
Hendaknya mereka menjauhi sikap tergesa-gesa dalam mengafirkan atau men-tafsiq dan men-tabdi’ orang lain tanpa penjelasan dan dalil. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَنْ قَالَ لأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir,” maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya.”(Muttafaq ‘alaih HR Al-Bukhari V/2263 no 6762; V/2264 no 5753, dan Muslim I/79 no 60)
Merupakan perkara yang disyari’atkan bagi para penyeru kebenaran dan penuntut ilmu, apabila mereka tidak memahami perkataan ahli ilmu dan selainnya, maka hendaknya mereka merujuk kepada para ulama yang mu’tabar, bertanya kepada mereka agar menjelaskan perkara yang sebenarnya dengan jelas, sehingga mereka jadi mengetahui hakikat perkaranya yang benar, juga untuk menghilangkan keraguan dan syubhat yang terdapat dalam diri-diri mereka, sebagai cerminan dari firman Allah,
وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri (ulama) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu). (an-Nisaa’:83)
Kepada Allah-lah kita memohon agar memperbaiki keadaan seluruh kaum muslimin dan menyatukan hati serta amalan mereka di atas ketakwaan. Semoga Allah memberi taufiq kepada seluruh ulama kaum muslimin, juga seluruh penyeru kebenaran untuk melakukan perkara yang diridhai oleh Allah dan bermanfaat bagi para hamba-Nya. Semoga Allah menyatukan kalimat mereka di atas petunjuk dan menjauhkan mereka dari sebab-sebab perpecahan dan perselisihan. Semoga Allah menolong kebenaran dan merendahkan kebatilan dengan perantaraan mereka, sesungguhnya Allah Maha Menguasai dan Maha Mampu untuk itu.
Shalawat dan salam semoga Allah curahkan senantiasa kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabat beliau, juga orang-orang yang mengambil petunjuk beliau hingga datangnya hari Kiamat.”
Pertanyaan: Beberapa minggu yang lalu telah keluar dari yang mulia (Syaikh Ibnu Baaz) penjelasan tentang metode mengkritik di antara para da’i. Sebagian orang menafsirkan penjelasan tersebut dengan penafsiran yang beraneka ragam. Bagaimanakah pendapat yang mulia dalam hal ini?”
Syaikh Ibnu Baaz menjawab: “Segala puji bagi Allah, dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengambil petunjuknya. Amma ba’d:
Mengenai penjelasan yang disebutkan oleh penanya, maka kami maksudkan agar penjelasan tersebut menjadi nasehat bagi saudara-saudaraku, baik para ulama maupun para da’i, agar kritikan mereka terhadap kesalahan saudara-saudara mereka yang timbul dalam perkataan, seminar, atau pengajian, hendaknya kritikan mereka sifatnya membangun, jauh dari tindakan melukai dan menyebutkan nama pelaku. Sebab hal ini dapat menyebabkan permusuhan dan sengketa di antara semuanya.
Merupakan adat dan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila sampai kepada beliau perbuatan sebagian sahabat yang menyelisihi syari’at, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengingatkan hal itu dengan sabda beliau,
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَكَذَا
“Mengapa suatu kaum mengucapkan ini dan itu…?”
Selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan perkara yang sesuai dengan syari’at.
Diantara contoh peristiwanya adalah pernah sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sebagian orang berkata, “Adapun aku, maka akan shalat terus-menerus dan tidak tidur.” Lalu yang lain berkata, “Adapun aku, maka akan puasa terus-menerus dan tidak berbuka.” Selainnya lagi berkata, “Adapun aku, maka tidak akan menikahi wanita.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhutbah kepada manusia. Beliau memuji Allah, lalu berkata, “Mengapa suatu kaum mengucapkan ini dan itu…?! Padahal aku shalat dan aku tidur, aku berpuasa dan aku berbuka, serta aku menikahi para wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnahku maka bukan termasuk golonganku.”
Maksud saya adalah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; bahwa (bentuk) peringatan hendaknya mengikuti perkataan seperti ini, “Sebagian orang telah mengatakan demikian…; sebagian orang mengucapkan demikian; yang benar adalah begini; yang wajib adalah ini….” Kritikan tersebut tanpa disertai adanya tajrih (tindakan melukai) kepada individu tertentu, tetapi termasuk bab penjelasan perkara yang disyari’atkan. Dengan demikian, akan tetap terjaga sikap saling mencintai dan menyayangi di antara saudara-saudaraku dan antara para da’i serta antara para ulama.
Penjelasan saya itu bukan ditujukan untuk orang-orang tertentu, namun bersifat umum, yaitu untuk seluruh da’i dan para ulama, baik di dalam negara Arab Saudi maupun di luar Arab Saudi.
Nasehat saya bagi seluruhnya, hendaknya pembicaraan tentang nasehat atau kritikan itu dilakukan secara ibham –menyamarkan pelakunya- tanpa men-ta’yin -tanpa mengindentifikasi pelaku tertentu-, karena maksudnya adalah mengingatkan dari kesalahan dan kekeliruan, serta menjelaskan kebenaran dan al-haqq yang diperlukan, tanpa dibutuhkan tindakan melukai Fulan dan Fulan. Semoga Allah memberi taufiq kepada seluruhnya.” (Majmuu’ Fataawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah, vol. VII. Fatwa ini disebarkan melalui koran-koran harian al-Jaziirah, ar-Riyaadh, asy-Syarq al-Awsath pada hari sabtu tanggal 22/6/1412 H)
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah juga berkata, “Hendaknya yang menjadi tujuan adalah menjelaskan kebenaran dan kebatilan tanpa perlu menyebutkan nama orang yang dinukil kecuali dalam kondisi darurat yang mengharuskan penyebutan orang tersebut.” (Majmuu’ Fataawa wa Maqaalaat Ibn Baaz VIII/242)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika didapati di antara kalian ada orang yang lisannya lepas dalam membicarakan para ulama, maka nasehati dan peringatkanlah ia. Katakanlah kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah, engkau tidak diperintahkan untuk beribadah dengan cara seperti ini. Apakah faedah dari ucapanmu, ‘Si Fulan ada kesalahan ini dan itu?’ Namun hendaknya engkau berkata, ‘Perkataan ini kesalahannya adalah ini dan itu’, tanpa menyebutkan nama pelakunya.’
Namun terkadang merupakan perkara yang afdhal jika kita menyebutkan nama si pelaku berikut kesalahan-kesalahannya, agar masyarakat tidak terperdaya olehnya. Namun tidak selalu yang demikian dalam berbagai pengajian…. Penyebutan pelaku hukumnya boleh apabila dalam keadaan darurat. Jika tidak, maka yang terpenting adalah membantah pendapat yang batil (bukan menyebutkan pelakunya, pen).” (Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah, hal 317, penjelasan hadits no 28)
Hal ini tidak sebagaimana implementasi sebagian orang yang menjadikan penyebutan individu, yang mereka itu adalah saudara-saudaranya sendiri, di majelis-majelis umum, ketika mengkritik kesalahan sebagai hukum asal dalam dakwah. Bahkan mungkin ketika dalam keadaan darurat barulah mereka tidak menyebutkan nama-nama saudaranya yang melakukan kesalahan.
Kalaupun harus menyebutkan nama –misalnya karena kesalahannya telah tersebar dan tidak tercapai manfaat tahdzir kecuali dengan menyebut namanya- maka jika diketahui bahwa seseorang yang bersalah (yang terjatuh dalam bid’ah) tersebut dikenal sebagai orang yang selalu mencari kebenaran dan dia telah berijtihad (berusaha) mencapai kebenaran namun terjatuh dalam kesalahan maka ia tetap dikritik dan disebutkan namanya namun kritikan tersebut tidak boleh dalam bentuk pencelaan dan menjatuhkan harga dirinya.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan sejumlah sebab tentang tidak perlunya mengidentifikasi pelaku tertentu dalam membantah suatu pernyataan atau pendapat yang salah, diantaranya:
1. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Pembicaraan mengenai individu tertentu terkadang menimbulkan tahazzub (hizbiyyah, kebanggaan golongan) dan ta’asshub (fanatisme). Dan yang wajib untuk dilakukan, hendaknya kita mengkaitkan permasalahan dengan sifat, bukan mengkaitkannya dengan individu tertentu. Kita katakan, “Barangsiapa yang berbuat demikian maka ia berhak mendapat hukum demikian.” Sama saja perbuatannya itu baik atau buruk. Namun, kalau kita ingin memberikan penilaian terhadap seseorang (taqwim), maka wajib bagi kita untuk menyebutkan kebaikan-kebaikannya berikut keburukan-keburukannya, karena inilah timbangan yang adil. Berbeda tatkala kita ingin men-tahdzir kesalahan seseorang, maka kita hanya menyebutkan kesalahannya saja. Karena kondisi tersebut adalah kondisi tahdzir. Pada kondisi tahdzir, bukanlah merupakan sikap yang bijaksana untuk menyebutkan kebaikan. Sebab jika disebutkan kebaikan, maka si pendengar akan menjadi bimbang…. Barangsiapa yang ingin melakukan tahdzir dari suatu kesalahan, maka ia menyebutkan kesalahan tersebut, jika memungkinkan untuk tidak menyebutkan pelaku kesalahan, maka itulah yang terbaik. Karena tujuannya adalah memberi petunjuk kepada masyarakat ” (Dari kaset Liqaa’ al-Baab al-Maftuuh, no (67), side A)
2. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Merupakan kebiasaan saya untuk sama sekali tidak menyebutkan nama seseorang… karena mengkaitkan permasalahan dengan sifat lebih baik daripada mengkaitkannya dengan individu. Jika engkau mengkaitkan suatu kesalahan dengan individu maka bisa jadi (suatu saat nanti) individu tersebut bertaubat dan kembali kepada Allah, sementara perkataanmu mengenai dirinya senantiasa tetap ada sampai hari kiamat.” (Dari kaset Liqaa’ al-Baab al-Maftuuh, no (98), side B)
3. Syaikh juga berkata, “…namun jika engkau menyebutkan sifat, maka sifat tersebut berlaku pada individu yang bersangkutan juga kepada selainnya (yang memiliki kesalahan serupa). Apabila Allah mentakdirkan ia mendapatkan hidayah maka ia akan selamat dari disebutkan namanya.” (Dari kaset Liqaa’ al-Baab al-Maftuuh, no (98), side B)
Berkata Ibnu Taimiyyah, ((Wajib mentahdzir bid’ah-bid’ah tersebut meskipun hal itu mengharuskan untuk menyebutkan nama-nama mereka (para pelaku bid’ah tersebut), bahkan meskipun mereka tidaklah mengambil bid’ah-bid’ah tersebut dari seorang munafik akan tetapi mereka mengucapkan bid’ah-bid’ah tersebut karena menyangka bahwa bid’ah-bid’ah tersebut merupakan kebenaran, petunjuk, dan merupakan agama –padahal tidak demikian-. Maka wajib untuk menjelaskan keadaan bid’ah-bid’ah tersebut. Oleh karena itu wajib untuk menjelaskan kondisi orang yang salah dalam hadits dan periwayatannya, orang yang salah dalam pemikiran dan fatwa, orang yang salah dalam (praktek) zuhud dan ibadah meskipun seorang yang bersalah setelah berijtihad diampuni kesalahannya dan ia mendapat pahala karena ijtihadnya. Maka menjelaskan perkataan dan amal (yang benar) yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah adalah wajib, meskipun hal itu bertentangan dengan pendapat dan amal mujtahid yang keliru tersebut
1. Barangsiapa yang diketahui darinya kesungguhannya (ijtihadnya) yang masih dalam batasan yang diperbolehkan maka tidaklah boleh ia disebut dengan bentuk pencelaan dan menyatakannya berdosa, karena sesungguhnya Allah mengampuni kesalahannya. Bahkan yang wajib adalah berwala’ kepadanya, mencintainya karena keimanan dan ketakwaan yang terdapat pada dirinya. Serta wajib untuk menjalankan apa yang diwajibkan oleh Allah untuk menunaikan hak-haknya berupa pujiaan, doa untuknya, serta yang lainnya.
2. Jika diketahui (adanya) kemunafikan pada dirinya sebagaimana diketahui sifat kemunafikan pada sekelompok orang di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Abdullah bin Ubai dan Dzuwaih, dan demikian juga sebagaimana kaum muslimin mengetahui kemunafikan seluruh kaum Rofidhoh –Abdullah bin Saba’ dan yang semisalnya seperti Abdul Quddus bin Al-Hajjaj dan Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub- maka yang seperti ini dijelaskan kemunafikan mereka.
3. Dan jika ia menampakan kebid’ahannya dan tidak diketahui apakah ia seorang munafik atau seorang mukmin yang bersalah maka dijelaskan (sekedar) apa yang diketahui darinya (tanpa dipuji atau dicela-pen). Maka tidak halal bagi seseorang untuk mengikuti apa yang ia tidak memiliki ilmu tentangnya. Tidak halal baginya untuk berbicara dalam pembahasan seperti ini kecuali dengan maksud untuk mencari wajah Allah, agar meninggikan kalimat Allah, dan agar agama seluruhnya adalah bagi Allah. Barangsiapa yang berbicara tentang hal ini tanpa ilmu atau berbicara dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan maka ia telah berdosa)) (Majmu’ Fatawa XXVIII/233-234)
Berkata Ibnul Qoyyim, “Perbedaan antara nasehat dan gibah, tujuan dari nasehat adalah untuk memperingatkan seorang muslim dari (bahaya) seorang mubtadi’,….maka engkau menjelaskan kondisi mubtadi’ tersebut (kepadanya) jika ia meminta pendapatmu karena ingin bersahabat dengan mubtadi’ tersebut atau ingin bermu’amalah dengannya atau ingin berhubungan dengannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Fathimah binti Qois….
Jika ghibah disampaikan dalam bentuk nasehat untuk Allah, RasulNya, dan hamba-hambaNya kaum muslimin maka jadilah ghibah tersebut merupakan qurbah (ibadah) kepada Allah yang merupakan sebuah kebaikan. Dan jika ghibah disampaikan dalam bentuk celaan terhadap saudaramu dan untuk mengoyak kehormatannya dan bersenang-senang memakan daging (tubuhnya) serta untuk merendahkan dirinya agar kedudukannya jatuh di hati orang-orang maka ini merupakan penyakit yang bahaya dan api yang membakar kebaikan-kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar” (Ruh hal 240)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Aku harapkan dari saudara-saudaraku, para khathib dan para imam, untuk memperhatikan perkara ini, aku ingin mereka selalu semangat untuk menyatukan kalimat, menyatukan hati, menjauhi perpecahan yang hanya disebabkan perkara-perkara yang ringan apabila dibandingan dengan perkara-perkara lain yang merupakan pokok agama. Sebab Islam datang untuk menyatukan umat, dan bukan untuk memecah belah mereka. Sebagaimana firman Allah :
وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ
Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu (ali ‘Imran:103)
Oleh karena itu, menyatukan hati merupakan perkara urgen dan hal ini tidak mungkin bisa terwujudkan dengan hati yang saling menjauh. Kami katakan yang demikian bukan berarti menginginkan diam atas kesalahan, namun yang kami inginkan adalah menyikapi kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kita dengan (perkara-perkara berikut):
Pertama, tatsabbut (meneliti kebenarannya terlebih dahulu), apakah memang individu yang bersangkutan memang telah melakukan kesalahan, ataukah justru tidak melakukannya. Karena kita mendengar –terlebih lagi di tengah-tengah keributan dan keadaan yang kacau balau- perkataan atau perbuatan yang dituduhkan kepada sebagian orang, namun setelah diteliti kembali ternyata tidak ditemukan apa-apa. Karena itu wajib bagi kita untuk beradab dengan adab yang Allah ajarkan kepada kita:
(وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (al-Israa’:36)
Kedua, jika ia memang telah melakukan apa yang kita yakini merupakan kesalahan, maka hendaknya kita merenung sebelum bicara dengan pelaku kesalahan tersebut. Kita renungkan, apakah memang apa yang dilakukannya itu merupakan kesalahan? Apakah ada sisi kebenarannya? Bisa jadi kesalahan tersebut memiliki sisi kebenaran, dan sisi kebenaran ini bisa jadi kuat dan bisa jadi lemah.
Ketiga, setelah itu kita hubungi pelaku kesalahan tadi –setelah meyakini bahwa yang dilakukannya merupakan kesalahan- dengan tenang dan penghormatan, dengan tujuan kita membicarakan hal tersebut dengannya. Kita bukan menghubunginya untuk mengkritik, tidak juga untuk memarahinya, tetapi untuk meluruskannya dan dalam rangka mencapai kebenaran. Allah berfirman:
( إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحاً يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا)(النساء: من الآية35)
Jika kedua orang hakam (penengah) itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-istri tersebut. (an-Nisaa’:35)
Apabila kita bicara dengan orang lain dengan maksud meluruskan dan mengikuti kebenaran, bukan dengan maksud mengkritik dan melampiaskan kemarahan, maka dengan niat yang baik ini, dibarengi dengan menempuh cara yang bijak, niscaya tercapailah tujuan dengan izin Allah. Allah telah berjanji dan Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya.
Namun sangat disayangkan, sebagian orang hanya sekedar mendengar kesalahan seseorang tetapi langsung ia sebarkan -sebelum ia teliti kebenarannya-. Ia pun menyebarkan hal itu ke penjuru dunia, kemudian ia melupakan kebaikan-kebaikan yang banyak yang dimiliki oleh orang tersebut. Sementara kebaikan-kebaikan yang banyak tersebut mengungguli bahkan melebur satu kesalahannya tadi, atau bahkan melebur kesalahan-kesalahannya. Apakah ini merupakan sikap yang adil? Apakah merupakan sikap yang adil jika kita hanya mengambil kejelekan-kejelekan seseorang tanpa membandingkannya dengan kebaikan-kebaikannya? Ini merupakan kezhaliman. Allah berfirman dalam al-Qur-an:
(وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ)
Kami akan memasang timbangan yang adil tepat pada hari kiamat (al-Anbiyaa’:47)
Allah juga berfirman:
(وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ )
Dan tegakkanlah timbangan dengan adil (ar-Rahmaan: 9)
Wajib bagi seseorang untuk ditimbang, wajib bagi kita untuk menyadari bahwa individu yang bersangkutan adalah manusia, ia tidak akan lepas dari kesalahan. Karena itu obat yang bermanfaat adalah kita baguskan niat dan kita perbaiki metode (cara menasehati) yang dengannya kesalahan tersebut akan diperbaiki oleh pelaku.
Selanjutnya, terdapat perkara-perkara yang terhitung ringan jika ditinjau dari pokok-pokok yang agung dalam agama Islam. Di antara pokok yang agung, bahkan merupakan pokok yang paling agung setelah tauhid, adalah persatuan di atas kebenaran. Misalnya engkau dapati dua orang yang berselisih dalam satu permasalahan fiqh, sehingga timbulah permusuhan dan terpecahnya hati di antara keduanya disebabkan masalah fiqh tersebut. Lalu masing-masing berusaha mengumpulkan para pemuda dan selainnya (untuk mendapatkan dukungan). Akibatnya, umat ini terpecah. Demi Allah, yang seperti ini bukanlah cara yang benar. Jalan yang benar adalah kita bersatu di atas kebenaran. Salah seorang di antara kita menemui saudaranya -yang menurutnya telah melakukan kesalahan- untuk berbicara dengannya dengan tenang dan penghormatan, apabila saudaranya tersebut lebih berilmu atau lebih tua darinya, hendaklah ia berbicara dengannya dengan penuh adab dan kelembutan. Janganlah ia berbicara dengannya seakan-akan ia setingkat dengannya, karena saudaranya itu lebih tua atau lebih berilmu darinya….” (Majmuu’ Fataawa Ibn ‘Utsaimin, vol. XV, pada tema Nashihah lil A-immah wal Khuthabaa)
bersambung…
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com